Indonesia Green Chronicle

Yansen – University of Bengkulu, Indonesia

Archive for the ‘Bengkulu’ Category

Mempertahankan bahasa (Bengkulu)

with 21 comments

Tulisan ini bisa dibaca juga di Simpang Limo

Ketika berkenalan dengan seorang dari Zambia, Afrika, karena mengetahui saya dari Indonesia, ia kemudian bertanya, “Do you speak Dutch?” “No, why should I speak Dutch” saya jawab. “I speak Bahasa Indonesia,” saya tambahkan lagi. Loh, kan Indonesia dijajah Belanda ratusan tahun, kok Bahasa Belanda tidak menjadi Bahasa nasional. “Itulah hebatnya Indonesia,” saya berbangga. “Sisa-sisa kolonialisme sudah kami buang semua. Kami tak ingin punya keterikatan dengan bangsa yang pernah menjajah kami,” tegas saya lagi.

Memang persoalan bahasa seperti ini jadi agak ‘aneh’ di Benua Afrika. Sejarah kolonialisme masih meninggalkan bekas, paling tidak bahasa. Banyak negara jajahan Inggris, semisal Afrika Selatan, Zimbabwe dan Zambia, menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi. Jajahan Perancis, semacam Pantai Gading dan Mali, menjadikan Bahasa Perancis sebagai bahasa kenegaraan. Atau Mozambique yang berbahasa Portugis. Sebagian lagi di Afrika bagian utara berbahasa Arab sebagai imbas dari perluasan kekhalifahan Islam abad pertengahan.

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

December 23, 2008 at 7:44 am

Time is running out for Sumatra

with one comment

the-jakarta-post1

The Jakarta Post, December 13, 2008

At the International Union for the Conservation of Nature’s (IUCN) World Conservation Congress in Barcelona, Spain last month, the Indonesian government declared its commitment to saving Sumatra’s forests. The joint pledge between regional Sumatran administrations as well as the central government was fully backed by the prestigious World Wildlife Fund (WWF).

The commitment marks the first time regional and central governments have shown a willingness to cooperate in protecting the island’s magnificent biodiversity.

sumatran-forest1Sumatra is home to eleven national parks, stretching from Aceh to Lampung, each with a unique ecosystem. Kerinci Seblat and Bukit Barisan Selatan national parks are recognized as World Heritage sites, considered of global importance and under the watch of the international community. Of course each World Heritage site belongs to people who live in the area, but it is considered in the interest of the international community to protect them. Leuser National Park, meanwhile, has been given the special status of being both a World Heritage site and a biosphere reserve. Biosphere reserves are designated in order to preserve biodiversity, which will in turn improve people’s welfare and preserve cultural heritage.

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

December 13, 2008 at 1:53 pm

Komitmen menyelamatkan Sumatera

with one comment

Dalam kongres Konservasi Dunia IUCN di Barcelona, Oktober lalu, pemerintah daerah provinsi-provinsi di Sumatera mengeluarkan pernyataan bersama: Save Sumatra! Pernyataan bersama yang disebut bersejarah dan pertama ini berisi komitmen kuat pemerintah untuk menyelamatkan ekosistem hutan yang kritis di pulau ini.

Komitmen ini mendapat dukungan penuh dari dari lembaga non-pemerintah kelas dunia World Wide Fund for Nature (WWF). Secara khusus WWF mengeluarkan petisi dukungan atas inisiatif ini. Petisi ini diharapkan mampu memberikan dukungan moral bagi pemerintah untuk bekerja keras menyelamatkan keragaman hayati di pulau ini.

Ekosistem terancam

Pernyataan ini secara khusus menggarisbawahi laju kehilangan areal hutan yang luas di Pulau Sumatera, mencapai 85 persen sejak tahun 1985. Di samping itu, kerentanan ekosistem gambut yang mencapai 13 persen dari total ekosistem yang tersisa juga menjadi catatan penting. Sebagai sumber karbon, pembukaan hutan gambut ini akan meningkatkan laju emisi karbon. Padahal saat ini, karena laju deforestasi, Indonesia telah menjadi salah satu negara pengemisi karbon terbesar. Karena itu, penyelamatan hutan Sumatera diyakini berkontribusi nyata terhadap mitigasi perubahan iklim.

Keunikan ekosistem pulau ini sebenarnya telah diakui secara nasional, dan bahkan internasional. Ada sebelas taman nasional terdapat di Pulau Sumatera, membujur dari Aceh sampai ke Lampung. Tiga taman nasional, yakni Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat dan Bukit Barisan Selatan telah ditetapkan sebagai World Heritage. Sebagai World Heritage, maka sesungguhnya taman-taman nasional tersebut sudah menjadi milik international, dan menjadi tanggung jawab global untuk menyelamatkannya.

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

November 20, 2008 at 1:53 pm

Harga sawit dan pertanian kita

with 10 comments

rakyat-bengkulu2

Dimuat Harian Rakyat Bengkulu, 20 November 2008 sawit1

(Sumber gambar: Dirjen Perkebunan Deptan)

Beberapa waktu lalu Harian Rakyat Bengkulu menurunkan laporan tentang keresahan petani terhadap turunnya harga sawit. Harga sawit memang fluktuatif. Sebelum kenaikan harga yang signifikan, harga sawit juga tak begitu baik. Sebagai komoditas ekspor, iklim dan kondisi perdagangan dunia sangat mempengaruhi komoditas ini. Krisis finansial di Amerika yang kemudian mengglobal ikut menjadi penyebab turunnya harga ini.

Sawit merupakan komoditas pertanian yang cukup kontroversial. Pengembangan komoditas ini disebut-sebut sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan yang masif di Indonesia. Jika sebelumnya minyak sawit hanya dipergunakan untuk kandungan produk makanan dan kosmetika, permintaan sawit melonjak dengan adanya pengembangan bahan bakar nabati (bio-fuel).

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

October 27, 2008 at 7:41 pm

Modus kehidupan

leave a comment »

Harian Bengkulu Ekspress, September 2007

Erich Fromm, generasi kedua Frankfurt School, membelah modus kehidupan manusia menjadi dua: ‘modus menjadi’ (being mode) dan ‘modus memiliki’ (having mode). Jalaluddin Rakhmat kemudian menyibak secara ringkas dan sederhana tentang dua modus ini. Orang-orang dengan ‘modus memiliki’ berorientasi inilah milikku. Rumah mewah didirikan bukanlah sebagai kebutuhan akan rumah yang besar karena memiliki anggota keluarga yang banyak. Tapi, hanya sekedar menunjukkan bahwa ia memiliki rumah mewah. Alhasil, benda menjadi tempat menitipkan prestise, harga diri, dan bahkan kehormatan. Tapi, orang dengan “modus menjadi” melihat fundamental nilai dibalik ini. Fungsionalitas: benarkah benda ini dibutuhkan? Apakah memang saya membutuhkan mobil, misalnya, untuk menunjang aktivitas atau hanya unjuk gigi bahwa saya memiliki banyak uang. Modus kehidupan ini lebih berorientasi pada nilai-nilai hakiki.

Menuju kehidupan yang bernurani merupakan usaha untuk menggeser paradigma dari ‘modus memiliki’ menjadi ‘modus menjadi’, dari penampakan artifisal ke pemahaman substansial. Untuk mengubah ini diperlukan kekuatan untuk menguasai nafsu.

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

October 27, 2008 at 6:50 pm

Jurang aplikasi

leave a comment »

Harian Bengkulu Ekspress, September 2007

Ada pertanyaan besar di kepala banyak orang Indonesia: Mengapa etik moral dan agama tidak menggejewantah dalam sikap hidup sebagai bangsa? Padahal kita terkenal sebagai bangsa yang religius. Bahkan, ateisme tidak mendapat tempat di negara Pancasila ini. Secara kasat mata, kehidupan religius semakin meningkat di masyarakat Indonesia. Jika bisa dijadikan sebagai salah satu indikator, lagu-lagu dengan tema religi laris manis di blantika musik Indonesia. Jilbab pun sudah menjadi barang umum. Sesuatu yang jarang tidak kita temui pada tahun 80-an, atau bahkan awal 90-an.

Tapi, dalam praktik nyata, semangat religius ini seringkali dikesampingkan. Jika menilik pada indeks persepsi korupsi (CPI) yang baru saja dirilis oleh Transparansi Internasional, terlihat bahwa Indonesia masih termasuk negara dengan korupsi yang parah. Walaupun tidak menjadi negara terkorup, tapi Indonesia tetap berada pada jajaran negara dengan tingkat korupsi tinggi. Lalu, mengapa semangat agama tidak mampu meredam ini?

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

October 27, 2008 at 6:48 pm

Bosan

leave a comment »

Bengkulu Ekspress, Oktober 2007

Setelah reformasi berjalan hampir satu dawawarsa, ada banyak harapan yang belum tercapai. Bahkan, banyak pihak yang semakin apatis akan arah perjalanan bangsa di kemudian hari. Semakin lama, bangsa ini semakin seperti bus yang kehilangan arah. Padahal, didalamnya ada ratusan penumpang yang berharap pada kemampuan, kelihaian dan bahkan kearifan supir dalam melajukan kendaraan. Jika tidak, bus ini akan menjadi juggernaut, istilah Anthony Giddens, tokoh sosial demokrasi. Sebuah kendaraan tak terkendali yang menuju jurang kehancuran.

Indonesia adalah bangsa feodal dan patron. Pemimpin mempunyai pengaruh kuat dalam mengarahkan kehidupan masyarakat. Dulu, pemimpin formal seperti raja mendapatkan kekuasaan melalui jalan keturunan. Dengan kekuasaan tak terbatas mereka menjalankan kekuasaan tanpa kritik. Inilah budaya timur. Oleh pendukung teori-teori sosial barat, hal ini banyak dikritik. Demokrasi kemudian dianggap sistem paling ampuh dan ideal dalam pengaturan hirearki kepemimpinan masyarakat. Walhasil, demokrasi pun dijajakan, bahkan dipaksakan, kesemua bangsa.

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

October 27, 2008 at 6:47 pm

Neo-feodalisme gelar akademis

leave a comment »

Harian Rakyat Bengkulu, 17 April 2007

Menarik membaca “celoteh”-nya Zacky Antony di Harian Rakyat Bengkulu Jumat, 30 Maret 2007. Kerisauannya mengenai semakin tidak jelasnya orientasi penggunaan gelar akademis patut dijadikan bahan renungan. Kepedulian yang sama agaknya juga menyelimuti pemikiran banyak kepala di negeri ini. Peningkatan jumlah orang dengan gelar akademis berjibun, ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sudah jamak diketahui bahwa terjadi pergeseran paradigma dalam memandang gelar kesarjanaan. Gelar yang seharusnya menjadi prestasi, cenderung terdegradasi dan bergeser ke wilayah prestise tanpa isi. Alhasil, gelar yang dimiliki seseorang seringkali menipu. Kemampuan yang dimiliki tidaklah semegah gelar yang disandang. Apalagi jika gelar yang dimiliki adalah gelar-gelaran. Maka tak heran Yudi Latif, cendekiawan Paramadina, berkomentar, “tidaklah benar sarjana kita cuma pandai berteori tapi tidak mumpuni dalam praktik. Karena, pada kenyataannya, kebanyakan sarjana kita miskin kedua-duanya: buta teori dan tak cakap dalam praktik.”

Read the rest of this entry »

Written by yansenbengkulu

October 27, 2008 at 6:44 pm